Sabtu, 22 Maret 2014

Puisi Sedih Untuk Thara

                                                      


Sore itu, angin tak seperti biasanya, ia berhembus dengan sangat tenang. Sore itu seorang wanita berpakian serba hitam berjalan menuju sebuah pemakaman umum. Dia berjalan menyusuri setiap petak tanah dengan nama dan tanggal wafat. Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah kuburan. Diletakkannya sekuntum bunga yang telah dibawanya dari tadi.
“hari tepat satu tahun semenjak kau pergi, sahabat”
Matanya menerawang jauh, bagai alat mesin waktu. Otaknya berputar cepat mengingat tentang kejadian pada tanggal bulan dan tahun itu. Tahun dimana dia harus kehilangan seorang sahabat satu-satunya

Tanggal 21 Februari 2013, ya tanggal dimana semua petaka ini dimulai.
“Tak… mungkin…” Febi menghela napasnya setelah melihat hasil ulangan midnya. Dia mendapatkan peringkat 19. Sesuatu yang tidak pernah diduga Febi sebelumnya. Febi adalah seorang anak pintar, dia tidak pernah mendapatkan nilai kecil di setiap ulangan, tapi mengapa? Mengapa peringkatnya bisa anjlok seperti ini? “Kau dapat peringkat berapa … 19?! kau dapat peringkat 19?” Kata Thara teman sebangku Febi.
“Bisa kau tinggalkan aku sebentar Thar?”
Thara tidak dapat berkata apa-apa lagi, baru kali ini melihat Febi begitu sedih. Dia tidak ingin menambah beban Febi, dan akhirnya Thara memutuskan meninggalkan Febi sendirian. Kelas mulai kosong, sekolah mulai sepi, namun Febi tetap disini di kelasnya sendirian. Febi tak berani pulang ke rumah. Orangtuanya tak akan pernah menerima peringkatnya.
“Kau belum pulang Feb?”
Febi mencoba melihat ke arah pintu siapa yang berkata seperti itu.
“Tinggalkan aku sendiri Pandu” kata Febi dingin.
“Ayolah karena peringkat saja kau sampai seperti ini”
“Hidupku bukan urusanmu Pandu.”
“Ayolah kita bersenang-senang sedikit.” kata Pandu yang mulai berjalan mendekati Febi.
“Tak ada yang perlu dipusingkan, kau hanya perlu santai. Tak perlu menjadi pintar, hanya menjadi hebat untuk mendapatkan nomor satu”.
“Apa maksudmu?” tanya Febi yang tak mengerti arti dari perkataan Pandu.
“Bagaimana? Kau mau mencoba ini?”
Pandu menyodorkan kantong plastik kecil, mirip tempat obat. Dan di dalamnya terdapat sebuah pil.
“Apa ini?” tanya Febi lagi yang semakin tak mengerti maksud Pandu. Pandu pun mendekatkan bibirnya ke telinga Febi seraya berkata, “nark*ba”
“Nar… nar… nar… koba? Apa kau gila Pandu? Dari mana kau mendapatkan barang haram ini?” Febi berdiri dan memegang kantong nark*ba tersebut, dia masih tak percaya bahwa temannya sendiri akan memberikan barang haram seperti itu.
“Jangan munafik Febi, beban hidupmu itu terlalu berat. Orangtua yang menuntut anaknya sempurna, apa itu tidak berat? Sudahlah satu pil ini akan membuatmu melupakan mereka!”.
“Melupakan?” Febi mulai terbawa tipu daya Pandu.
“ia melupakan semua beban hidup!”
“Benarkah? aku dapat tenang…?”
“ya, hanya satu pil Febi”.
Pandu mengambil kantong nark*ba dari tangan Febi, dia mengambil pil yang ada di dalam kantong tersebut, dan diletakkannya di tangan Febi.
“Tak perlu dikunyah Feb. Hanya telan saja, dan kau akan pergi ke surga Dunia”.

“Febi!”
“Febi, belum datang bu”
“kemana dia Thara?”
“Aku juga kurang tau”.
“oh, Baiklah, Berikutnya Fairus”.
Dimana Dia? Dari tadi batin Thara menanyakan hal sama dimana Febi? Kemana ia berada? Tidak seperti biasanya dia datang terlambat… atau karena nilai kemarin? Hati Thara mulai tak tenang, mengingat kejadian dimana Febi mendapatkan peringkat rendah.
“Assalamualaikum bu”.
Seisi kelas melihat ke arah sumber suara, Febi? Hati Thara sedikit lega namun kenapa Febi kelihatan pucat? Apa dia sakit? Hati Thara mulai merasakan perasaan yang tidak enak lagi.
“Oh Febi, silahkan masuk”.
Febi berjalan santai menuju bangkunya, kelihatan sekali dia sedang tidak sehat pagi ini.
“Feb kamu-”?
“Berhenti bicara Thara, aku sedang ingin ketenangan”.
‘Kenapa dengan temanku ini?’ Thara hanya bisa bertanya dalam hati, tidak mungkin Febi akan menjawab pertanyaannya, dia terlalu keras kepala.
Pelajaran kembali di mulai, dan Febi masih diam membisu.
“Permisi!”
Sebuah suara tegas muncul, dari ambang pintu. Seketika itu semua orang menoleh ke pintu, Polisi? Untuk apa polisi datang kesini?
“Kami dari pihak kepolisian akan melakukan razia. Tolong tas kalian dikumpulkan di depan.” Thara menoleh ke arah Febi, betapa terkejutnya dia saat melihat tubuh Febi gemetaran. Seperti orang yang tertangkap basah yang melakukan kesalahan.
Murid-murid mulai berdiri dan menaruh tas mereka ke depan.
“Febi, biar aku bawakan tas mu ke depan” Kata Thara hendak mengambil tas Febi.
“Jangan” kata Febi dingin.
“Jangan?”
“Apa… maksudku, terima kasih Thar”.
Febi memberikan tasnya ke Thara. Thara semakin curiga apa yang terjadi dengan sahabatnya ini. Kenapa Febi terlihat pucat? Kenapa ia takut? Kenapa? Semua pertanyaan itu mengisi kepala Thara.
“Baiklah, kami akan membawa tas-tas ini, Terima kasih.” Kelas kembali hening, Thara bisa melihat wajah Febi yang semakin pucat.
2 jam berlalu, setelah mereka mengumpulkan tas. Dan datanglah seorang polisi membawa sebuah tas.
“Tas siapa ini?”
“Saya pak”
“Kamu ikut saya”
Febi? Tas Febi? Kenapa dengan Febi? Thara semakin curiga pasti sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Thara memutuskan untuk mengikuti kemana Febi pergi.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya polisi dan Febi sampai di sebuah mobil, kacanya sangat gelap. Orang luar tak akan bisa melihat apa yang terjadi di mobil tersebut. Febi duduk di bangku belakang. Di depannya telah ada dua orang polisi yang siap mengintrogasi Febi, mereka saling berhadapan. Sepertinya bangku itu memang di desain untuk mengintrogasi seseorang.
“Punya siapa ini?” Tanya seorang polisi yang dengan memperlihatkan sebuah kantong plastik berisi sebuah pil nark*ba.
“Itu bukan punya saya pak” jawab Febi, mencoba tenang.
“Lalu punya siapa?”
“Saya tidak tahu pak”
“Kenapa bisa di tas kamu?”
“Saya juga tidak tahu pak”
“Kamu memang keras kepala, baiklah kami akan mengadakan tes pemeriksaan darah untuk membuktikan apakah kamu bersalah atau tidak”.
Febi semakin tersudut, kepalanya seakan mau pecah karena semua masalah ini. Dan di balik mobil tersebut, seorang masih sibuk dengan keterkejutannya. Febi? nark*ba? Kenapa?
CLEK…
Pintu mobil polisi itu terbuka, dua mata saling memandang tak ada yag mengira kejadian ini akan menimpa mereka.
“Kau mendengarkannya Thar?”
“Kenapa Febi?”
“Hidupku berat, maafkan aku”.
“Aku… aku TAK INGIN BERTEMU DENGAN MU LAGI!”
Febi hanya bisa tertunduk lesu, setelah melihat Thara pergi. Butir-butir bening itu keluar, Febi sudah tak sanggup lagi menanggung beban hidupnya, beban yang sangat berat.

Bukannya aku tak ingin, tapi aku tak sanggup
Bukannya aku tak bisa tapi aku tak mampu.
Aku akan membunuh cita-citaku
Aku akan menuju kegelapan malam.
Ke sana.
Ke tempat awan putih.
Thara, terima kasih telah menjadi temanku selama ini
Hidupku sangat berat.
Tanah itu mulai menutupi terang itu, tak ada yang bersisa kecuali penyesalan, dan air mata. Febi ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Meninggalkan sepucuk puisi untuk kawannya Thara. Hidup itu berat kawan.
Beberapa hari seteleha kematian Febi, Pandu ditangkap. Pandu tertangkap basah sedang mengedarkan nark*ba di tempat lain, dan setelah diintrogasi Pandu akhirnya menngakui bahwa dialah orang yang pertama kali memberikan nark*ba kepada Febi.
Sedangkan Thara, memutuskan untuk tidak terus berlarut dalam kesedihan. Dia tidak mau lagi ada orang harus mati hanya karena nark*ba dan keputusasaan menjalani hidup. Dan semenjak kematian Febi, Thara bergabung dengan organisasi anti nark*ba. Dengan semangat Thara terus Menyeruarakan bahaya nark*ba. Thara berjanji pada dirinya sendiri, selama dia masih sanggup bernapas, dia tak akan berhenti untuk terus berperang melawan nark*ba. nark*ba yang telah mengambil satu-satunya sahabat yang paling disayang Thara.

“aku pulang ya”
Thara meninggalkan pemakaman itu, dia berdiri. Walau beberapa tetes air mata keluar dari mata indahnya saat mengingat masa lalu. Namun Thara harus tetap kuat. Dia yakin bahwa Febi, Sahabatnya bahagia disana.
Thara mulai berjalan meninggalkan pemakaman itu, dan ketika dia berada di depan gerbang pemakaman. Thara berbalik, dia melihat sesosok bayangan mirip Febi tepat berdiri di samping kuburan Febi. Thara tersenyum dia hanya berdoa Febi akan baik-baik saja disana. Dia berbalik meneruskan perjalanannya kembali.