Minggu, 13 April 2014


SAHABAT TERBAIKKU
Puisi by bagas eka adi p.

Sahabat ...
di saat kita nikmati kebersamaan banyak hal yang terlewat kan begitu saja
keceriaan, canda dan tawa semuanya mengalir begitu saja 
waktu yang tersisah seolah tak mampu menampung nya dan waktu yang sangatlah singkat membuat ku teringat kepada mu sahabat ..

Semua kenangan - kenangan itu tak terasa ,pergi meninggalkan segala kegembiraan 
serta canda dan tawa mu satu persatu hilang sekejap mata 
ada beribu senyum saat terlintas memory yang dulu kala 

Sahabat ...
semua yang pernah kita jalani hari demi hari , waktu demi waktu telah kita lalui semuanya.

Banyak hal yg pernah terjadi karena itulah jalan hidup yang kita miliki 
kadang benci, kesal ,dan kecewa serta rasa senang dan sayang 
sungguh luar biasa , apa yang telah kita lalui bersama ..

Ya Tuhan ...
jagalah dan lindungilah
sahabat-sahabat ku 
karena mereka adalah sahabat terbaiku selamanya 


Sabtu, 22 Maret 2014

Puisi Sedih Untuk Thara

                                                      


Sore itu, angin tak seperti biasanya, ia berhembus dengan sangat tenang. Sore itu seorang wanita berpakian serba hitam berjalan menuju sebuah pemakaman umum. Dia berjalan menyusuri setiap petak tanah dengan nama dan tanggal wafat. Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah kuburan. Diletakkannya sekuntum bunga yang telah dibawanya dari tadi.
“hari tepat satu tahun semenjak kau pergi, sahabat”
Matanya menerawang jauh, bagai alat mesin waktu. Otaknya berputar cepat mengingat tentang kejadian pada tanggal bulan dan tahun itu. Tahun dimana dia harus kehilangan seorang sahabat satu-satunya

Tanggal 21 Februari 2013, ya tanggal dimana semua petaka ini dimulai.
“Tak… mungkin…” Febi menghela napasnya setelah melihat hasil ulangan midnya. Dia mendapatkan peringkat 19. Sesuatu yang tidak pernah diduga Febi sebelumnya. Febi adalah seorang anak pintar, dia tidak pernah mendapatkan nilai kecil di setiap ulangan, tapi mengapa? Mengapa peringkatnya bisa anjlok seperti ini? “Kau dapat peringkat berapa … 19?! kau dapat peringkat 19?” Kata Thara teman sebangku Febi.
“Bisa kau tinggalkan aku sebentar Thar?”
Thara tidak dapat berkata apa-apa lagi, baru kali ini melihat Febi begitu sedih. Dia tidak ingin menambah beban Febi, dan akhirnya Thara memutuskan meninggalkan Febi sendirian. Kelas mulai kosong, sekolah mulai sepi, namun Febi tetap disini di kelasnya sendirian. Febi tak berani pulang ke rumah. Orangtuanya tak akan pernah menerima peringkatnya.
“Kau belum pulang Feb?”
Febi mencoba melihat ke arah pintu siapa yang berkata seperti itu.
“Tinggalkan aku sendiri Pandu” kata Febi dingin.
“Ayolah karena peringkat saja kau sampai seperti ini”
“Hidupku bukan urusanmu Pandu.”
“Ayolah kita bersenang-senang sedikit.” kata Pandu yang mulai berjalan mendekati Febi.
“Tak ada yang perlu dipusingkan, kau hanya perlu santai. Tak perlu menjadi pintar, hanya menjadi hebat untuk mendapatkan nomor satu”.
“Apa maksudmu?” tanya Febi yang tak mengerti arti dari perkataan Pandu.
“Bagaimana? Kau mau mencoba ini?”
Pandu menyodorkan kantong plastik kecil, mirip tempat obat. Dan di dalamnya terdapat sebuah pil.
“Apa ini?” tanya Febi lagi yang semakin tak mengerti maksud Pandu. Pandu pun mendekatkan bibirnya ke telinga Febi seraya berkata, “nark*ba”
“Nar… nar… nar… koba? Apa kau gila Pandu? Dari mana kau mendapatkan barang haram ini?” Febi berdiri dan memegang kantong nark*ba tersebut, dia masih tak percaya bahwa temannya sendiri akan memberikan barang haram seperti itu.
“Jangan munafik Febi, beban hidupmu itu terlalu berat. Orangtua yang menuntut anaknya sempurna, apa itu tidak berat? Sudahlah satu pil ini akan membuatmu melupakan mereka!”.
“Melupakan?” Febi mulai terbawa tipu daya Pandu.
“ia melupakan semua beban hidup!”
“Benarkah? aku dapat tenang…?”
“ya, hanya satu pil Febi”.
Pandu mengambil kantong nark*ba dari tangan Febi, dia mengambil pil yang ada di dalam kantong tersebut, dan diletakkannya di tangan Febi.
“Tak perlu dikunyah Feb. Hanya telan saja, dan kau akan pergi ke surga Dunia”.

“Febi!”
“Febi, belum datang bu”
“kemana dia Thara?”
“Aku juga kurang tau”.
“oh, Baiklah, Berikutnya Fairus”.
Dimana Dia? Dari tadi batin Thara menanyakan hal sama dimana Febi? Kemana ia berada? Tidak seperti biasanya dia datang terlambat… atau karena nilai kemarin? Hati Thara mulai tak tenang, mengingat kejadian dimana Febi mendapatkan peringkat rendah.
“Assalamualaikum bu”.
Seisi kelas melihat ke arah sumber suara, Febi? Hati Thara sedikit lega namun kenapa Febi kelihatan pucat? Apa dia sakit? Hati Thara mulai merasakan perasaan yang tidak enak lagi.
“Oh Febi, silahkan masuk”.
Febi berjalan santai menuju bangkunya, kelihatan sekali dia sedang tidak sehat pagi ini.
“Feb kamu-”?
“Berhenti bicara Thara, aku sedang ingin ketenangan”.
‘Kenapa dengan temanku ini?’ Thara hanya bisa bertanya dalam hati, tidak mungkin Febi akan menjawab pertanyaannya, dia terlalu keras kepala.
Pelajaran kembali di mulai, dan Febi masih diam membisu.
“Permisi!”
Sebuah suara tegas muncul, dari ambang pintu. Seketika itu semua orang menoleh ke pintu, Polisi? Untuk apa polisi datang kesini?
“Kami dari pihak kepolisian akan melakukan razia. Tolong tas kalian dikumpulkan di depan.” Thara menoleh ke arah Febi, betapa terkejutnya dia saat melihat tubuh Febi gemetaran. Seperti orang yang tertangkap basah yang melakukan kesalahan.
Murid-murid mulai berdiri dan menaruh tas mereka ke depan.
“Febi, biar aku bawakan tas mu ke depan” Kata Thara hendak mengambil tas Febi.
“Jangan” kata Febi dingin.
“Jangan?”
“Apa… maksudku, terima kasih Thar”.
Febi memberikan tasnya ke Thara. Thara semakin curiga apa yang terjadi dengan sahabatnya ini. Kenapa Febi terlihat pucat? Kenapa ia takut? Kenapa? Semua pertanyaan itu mengisi kepala Thara.
“Baiklah, kami akan membawa tas-tas ini, Terima kasih.” Kelas kembali hening, Thara bisa melihat wajah Febi yang semakin pucat.
2 jam berlalu, setelah mereka mengumpulkan tas. Dan datanglah seorang polisi membawa sebuah tas.
“Tas siapa ini?”
“Saya pak”
“Kamu ikut saya”
Febi? Tas Febi? Kenapa dengan Febi? Thara semakin curiga pasti sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Thara memutuskan untuk mengikuti kemana Febi pergi.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya polisi dan Febi sampai di sebuah mobil, kacanya sangat gelap. Orang luar tak akan bisa melihat apa yang terjadi di mobil tersebut. Febi duduk di bangku belakang. Di depannya telah ada dua orang polisi yang siap mengintrogasi Febi, mereka saling berhadapan. Sepertinya bangku itu memang di desain untuk mengintrogasi seseorang.
“Punya siapa ini?” Tanya seorang polisi yang dengan memperlihatkan sebuah kantong plastik berisi sebuah pil nark*ba.
“Itu bukan punya saya pak” jawab Febi, mencoba tenang.
“Lalu punya siapa?”
“Saya tidak tahu pak”
“Kenapa bisa di tas kamu?”
“Saya juga tidak tahu pak”
“Kamu memang keras kepala, baiklah kami akan mengadakan tes pemeriksaan darah untuk membuktikan apakah kamu bersalah atau tidak”.
Febi semakin tersudut, kepalanya seakan mau pecah karena semua masalah ini. Dan di balik mobil tersebut, seorang masih sibuk dengan keterkejutannya. Febi? nark*ba? Kenapa?
CLEK…
Pintu mobil polisi itu terbuka, dua mata saling memandang tak ada yag mengira kejadian ini akan menimpa mereka.
“Kau mendengarkannya Thar?”
“Kenapa Febi?”
“Hidupku berat, maafkan aku”.
“Aku… aku TAK INGIN BERTEMU DENGAN MU LAGI!”
Febi hanya bisa tertunduk lesu, setelah melihat Thara pergi. Butir-butir bening itu keluar, Febi sudah tak sanggup lagi menanggung beban hidupnya, beban yang sangat berat.

Bukannya aku tak ingin, tapi aku tak sanggup
Bukannya aku tak bisa tapi aku tak mampu.
Aku akan membunuh cita-citaku
Aku akan menuju kegelapan malam.
Ke sana.
Ke tempat awan putih.
Thara, terima kasih telah menjadi temanku selama ini
Hidupku sangat berat.
Tanah itu mulai menutupi terang itu, tak ada yang bersisa kecuali penyesalan, dan air mata. Febi ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Meninggalkan sepucuk puisi untuk kawannya Thara. Hidup itu berat kawan.
Beberapa hari seteleha kematian Febi, Pandu ditangkap. Pandu tertangkap basah sedang mengedarkan nark*ba di tempat lain, dan setelah diintrogasi Pandu akhirnya menngakui bahwa dialah orang yang pertama kali memberikan nark*ba kepada Febi.
Sedangkan Thara, memutuskan untuk tidak terus berlarut dalam kesedihan. Dia tidak mau lagi ada orang harus mati hanya karena nark*ba dan keputusasaan menjalani hidup. Dan semenjak kematian Febi, Thara bergabung dengan organisasi anti nark*ba. Dengan semangat Thara terus Menyeruarakan bahaya nark*ba. Thara berjanji pada dirinya sendiri, selama dia masih sanggup bernapas, dia tak akan berhenti untuk terus berperang melawan nark*ba. nark*ba yang telah mengambil satu-satunya sahabat yang paling disayang Thara.

“aku pulang ya”
Thara meninggalkan pemakaman itu, dia berdiri. Walau beberapa tetes air mata keluar dari mata indahnya saat mengingat masa lalu. Namun Thara harus tetap kuat. Dia yakin bahwa Febi, Sahabatnya bahagia disana.
Thara mulai berjalan meninggalkan pemakaman itu, dan ketika dia berada di depan gerbang pemakaman. Thara berbalik, dia melihat sesosok bayangan mirip Febi tepat berdiri di samping kuburan Febi. Thara tersenyum dia hanya berdoa Febi akan baik-baik saja disana. Dia berbalik meneruskan perjalanannya kembali.

Jumat, 31 Januari 2014

SEPENINGGAL DIRIMU



DI CELA SENANDUNG MASA MUDA
ENGKAU PERGI ENTAH KEMANA
MENINGGALKAN KU SENDIRI TANPA ADA YANG MENEMANI
BAGAI BATANG YANG KEHILANGAN AKARNYA

SAYAP SAYAP CINTA KU TELAH RAPUH KARNAMU
HANYA ENGKAU CINTA SEJATIKU
SELAMA HIDUP INI

ENGKAU BAGAI EMBUN YANG SELALU MEMBASAHI HATI KU SETIAP HARI
TAPI KINI KENANGAN ITU HILANG TUK SELAMANYA
KARNA KAMU TIDAK ADA DI SISI KU UNTUK SELAMANYA
NGKAU PENGHANTAR DENYUT  NADI KU TUK SEKARANG DAN SELAMANYA

Macam-macam Sabar dan Keutamaannya


Sabar adalah akhlak yang sangat mulia. Ia menjadi hiasan para Nabi untuk menghadapi berbagai tantangan dakwah yang menghadang. Berhias diri dengan sabar hanyalah akan membuahkan kebaikan.



“Bersabarlah!”

Demikian perintah Allah terhadap Rasul-Nya Muhammad di dalam Al Qur’an. Hal ini menunjukkan betapa besar kedudukan sabar kaitannya dengan keimanan kepada Allah dan kaitannya dengan perwujudan iman tersebut dalam kehidupan dan terlebih sebagai pemikul amanat dakwah. Tentu jika anda menyambut seruan tersebut niscaya anda akan berhasil sebagaimana berhasilnya Rasulullah, keberhasilan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman:



“Maka bersabarlah kamu sebagaimana bersabarnya orang-orang yang memiliki keteguhan dari para rasul.” (Al Ahqaf: 35)



Sabarnya Ulul ‘Azmi

Siapakah yang dimaksud oleh Allah dengan ulul ‘azmi yang kita diperintahkan untuk mencontohnya?



1. Nabi Nuh ‘Alahi salam sebagai rasul yang pertama kali diutus ke muka bumi ini adalah salah satu dari ulul ‘azmi. Beliau diutus kepada kaum yang pertama kali menumbuhkan akar kesyirikan di muka bumi. Tahukah anda bagaimana besar tantangan yang dihadapi? Coba anda renungkan ketika seseorang ingin mencabut sebuah pohon yang sangat besar yang akarnya telah menjalar ke segala penjuru, sungguh betapa berat pengorbanannya. Allah sendiri telah memberitahukan kepada kita dengan firman-Nya:

“Dan demikianlah kami menjadikan bagi setiap para nabi seorang musuh dari syetan baik dari kalangan jin dan manusia.”(Al An’am: 112)



Yang dipilih pertama kali dari sederetan kaumnya yang menghadang dakwah beliau adalah keluarga yang paling dekat anak dan isterinya. Dengan perjuangan yang panjang dan berat, beliau dengan kesabaran bisa meraih kemenangan di dunia dan di akhirat. Allah mengatakan tentang beliau:

“Sesungguhnya dia adalah hamba-Ku yang bersyukur.” ( Al Isra’: 3)



2. Nabi Ibrahim sebagai bapak orang-orang yang bertauhid juga sebagai salah satu ulul ‘azmi. Mendobrak keangkaramurkaan yang dilakukan oleh bapaknya sendiri dan kaumnya yang dipimpin oleh seorang raja yang dzalim. Bagaimanakah perasaan anda jika anda diusir dari belaian kasih sayang dan perlindungan bapak anda? Bapaknya yang dipilih oleh Allah untuk menghadang dakwah beliau yang berada di bawah cengkeraman raja yang mengaku diri sebagai tuhan. Dia harus menelan pil pahit angkara murka kaumnya yang dengan tega melempar Nabi Ibrahim ke dalam kobaran api yang sangat dahsyat. Namun apakah yang mereka bisa perbuat terhadap jasad beliau? Sia-sialah perbuatan mereka.



Di sisi lain beliau harus juga menerima ujian yang lebih pahit yaitu amanat dari Allah untuk menyembelih putra yang disayangi dan diharapkan sebagai calon penerusnya. Bisakah anda membayangkan hal yang demikian itu? Kesabaranlah yang menyelamatkan dari semua ujian dan cobaan yang menimpa beliau.



3. Nabi Musa dan ‘Isa adalah dua rasul yang diutus kepada Bani Israil dan sekaligus sebagai ulul ‘azmi. Tantangan yang dihadapi beliau berdua, tentu tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya dari kalangan para rasul Allah. Siapa yang tidak mengenal Fir’aun si raja kufur yang menobatkan dirinya sebagai Rabb semesta alam, raja tak berperikemanusiaan yang membunuh anak-anak yang menurutnya akan bisa menggoyahkan tahta kekuasaannya. Kesabaranlah yang menjadi kuncinya sehingga beliau berdua dibebaskan dari segala bentuk tantangan dan ujian yang sangat dahsyat.



4. Nabi Muhammad sebagai nabi penutup dan imam para rasul juga termasuk salah satu dari ulul ‘azmi. Yang diutus kepada semua umat yang berada di atas dekadensi moral, kejahiliyahan dan keberingasan. Tentu tantangan yang beliau hadapi tidak kalah hebat dengan para rasul pendahulu beliau. Para rasul pendahulu beliau hanya diutus kepada kaum tertentu sedangkan beliau diutus kepada seluruh umat. Ini menggambarkan betapa besar tantangan yang beliau harus hadapi. Allah memilih keluarga beliau yang paling dekat menjadi penjegal perjalanan dakwah beliau. Mereka tidak berbeda dengan kaum sebelumnya dalam memusuhi para rasul Allah. Kesabaranlah yang menjadi kunci semua perjuangan beliau.



Anda pasti menginginkan keberhasilan dalam setiap usaha yang anda lakukan. Maka dari itu jadikanlah seluruh para Nabi dan Rasul Allah sebagai suri tauladan anda dalam kesabaran sehingga anda akan mendapatkan keberhasilan seperti apa yang mereka telah dapatkan.



Abdurrahman As Sa’di mengatakan di dalam tafsir beliau: “Dan adapun orang yang telah diberikan taufiq oleh Allah untuk bersabar ketika ditimpa ujian lalu dia menahan dirinya untuk tidak benci terhadap ketentuan tersebut baik dengan ucapan dan perbuatan dan berharap pahala dari Allah dan dia mengetahui bahwa apa yang dia dapatkan dari pahala karena kesabaran tersebut atas musibah yang menimpanya, bahkan baginya ujian itu menjadi nikmat karena telah menjadi jalan terwujudnya sesuatu yang lebih baik, maka sungguh dia telah melaksanakan perintah Allah dan berhasil meraih ganjaran yang besar dari sisi-Nya.”



Macam-macam Sabar dan Keutamaannya



Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2/156) berkata: “Sabar ada tiga macam yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dalam menahan diri dari bermaksiat kepada Allah dan sabar dalam menghadapi ujian.”



Al Imam Al Qurthubi dalam tafsir beliau menukilkan ucapan Sahl bin Abdillah At Tasturi: “Sabar ada dua macam yaitu sabar dari bermaksiat kepada Allah maka ini adalah seorang mujahid; dan sabar dalam ketaatan kepada Allah ini yang dinamakan ahli ibadah.”



Ibnul Qayyim di dalam kitab beliau Madarijus Salikin (2/155) mengatakan: “Sabar dalam keimanan bagaikan kepala pada jasad; dan tidak ada keimanan tanpa sabar sebagaimana jasad tidak akan berfungsi tanpa kepala.”

Umar bin Al Khaththab berkata: “Kami menjumpai kebaikan hidup ada bersama kesabaran.”



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kepemimpinan dalam agama akan didapati dengan yakin dan sabar.” Allah berfirman:

“Dan Kami menjadikan dari mereka sebagai pemimpin yang berjalan di atas perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka yakin kepada ayat-ayat Kami.” (As Sajdah: 24)



Rasulullah bersabda: “Tidak ada satupun pemberian kepada seseorang yang lebih baik daripada sabar.” ( HR. Muslim).

“Sabar adalah cahaya.” ( HR. Muslim).



Allah berfirman:

“Dan Kami benar-benar akan membalas mereka yang bersabar dengan balasan yang lebih baik daripada apa yang mereka telah lakukan.” (An Nahl: 96) Wallahu a’lam.

Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru


  
DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai "Demokrasi Terpimpin". Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.

Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional, setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan rakyat: kebijaksanaan "massa mengambang" Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus dipisahkan dari politik.

Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara "Orde Lama" dan "Orde Baru", terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi teritorial Indonesia, dua-duanya dapat dikatakan sangat "nasionalis" dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun Soeharto amat mementingkan retorika "persatuan" dan "kesatuan". Bahkan, sejak 1956, Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi terpecah-belahnya bangsa, dan sempat mengajak rakyat untuk "mengubur" partai-partai tersebut dalam sebuah pidato yang amat terkenal.

Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali kepada "rel" revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan dikenal lebih antipartai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya didominasi oleh satu "partai negara", yakni Golkar, dan dua partai "pajangan". Sebenarnya, didirikannya satu "partai negara" atau "pelopor" adalah ide yang juga lama digandrungi oleh Soekarno, walau keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan di masa kekuasaannya.

***

SEPERTI Soekarno, Soeharto juga beranggapan bahwa sistem politik yang didukungnya adalah yang paling "cocok" dengan "kepribadian" dan "budaya" khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, keduanya mengecam "individualisme" yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antar-partai.

Pada akhirnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara "Demokrasi Terpimpin"-nya Soekarno dan "Demokrasi Pancasila"-nya Soeharto, dengan perbedaan bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru sebaliknya. Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan komunisme. Tapi dua-duanya, dengan caranya masing-masing, mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Dua-duanya mementingkan "persatuan"-yang satu demi "revolusi" dan yang lainnya demi "pembangunan".

Boleh dikatakan bahwa Orde Lama serta Demokrasi Terpimpin telah pave the way, membuka jalan, bagi Orde Baru dan "Demokrasi Pancasila" versi Soeharto. Tidak mengherankan bahwa Soekarno telah mengawali Demokrasi Terpimpinnya dengan kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Soeharto, di masa kekuasaannya, selalu bersikeras tentang sifat "sakral" konstitusi, yang tidak boleh diamandemen.

Sikap menomorsatukan UUD 1945 bukanlah hanya mencerminkan masalah ideologis atau filosofis yang abstrak, tetapi masalah kekuasaan yang konkret. Baik Soekarno maupun Soeharto amat mengerti bahwa UUD '45 memusatkan kekuasaan pada lembaga kepresidenan, suatu hal yang hari ini justru menjadi masalah dengan adanya tarik-menarik antara Presiden dan DPR. Hal yang menarik adalah justru pada tahun 1945 Soekarno pernah berucap bahwa konstitusi itu hanya bersifat sementara. Sebab, UUD '45 diciptakan dalam keadaan darurat, jadi sama sekali bukan sesuatu yang "suci", sebagaimana diklaim oleh Soeharto, dan beberapa aktor politik lebih kontemporer.

Dalam pengamatan yang lebih seksama, ternyata ada banyak sekali "utang" Orde Baru pada Orde Lama. Untuk menjelaskan hal ini, mungkin ada baiknya kita kembali dulu kepada latar belakang pembubaran Konstituante oleh Soekarno serta kembalinya Indonesia kepada UUD 1945.

Dalam versi sejarah yang dibaca di sekolah, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku pada waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Toh Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah yang kita baca di sekolah akan menekankan pula bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Bahwa beberapa gerakan separatis muncul sepanjang tahun 1950-an juga adalah kenyataan, bahkan Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah. Lebih jauh lagi, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.

Seperti diketahui, salah satu aspek yang penting dari Demokrasi Terpimpin adalah berpusatnya kekuasaan di tangan eksekutif (presiden) dan berkurangnya kekuasaan lembaga legislatif, atau DPR. Hal ini telah difasilitasi dengan kembalinya Indonesia kepada UUD '45. Bahkan, bentuk parlemen pun diubah dengan dicanangkannya suatu lembaga yang pada dasarnya memberikan tempat yang lebih besar untuk golongan-golongan "fungsional" dalam masyarakat, yang kemudian dikenal sebagai golongan "karya". Pada saat yang sama, tempat partai di dalam parlemen juga dibatasi-sebab menurut Soekarno-politisi partai hanya mewakili kepentingan partainya, dan yang diperlukan adalah individu-individu yang dapat mewakili kepentingan "rakyat" atau yang depat menyuarakan "kepentingan nasional" yang sebenarnya.

Di masa Orde Baru, dengan sistem kekuasaan yang jauh lebih terpusat dibandingkan pada masa Soekarno, hal ini kemudian menjadi masalah yang amat besar. Negara-dalam hal ini hampir tidak bisa dibedakan dari Soeharto, keluarga, sekutu serta kroninya- mengambil-alih seluruh hak untuk mendefinisikan "kepentingan nasional" tersebut. Akibatnya, kepentingan nasional menjadi identik dengan kepentingan segelintir penguasa politik dan ekonomi, dan segala unsur dalam masyarakat yang menentangnya dinyatakan sebagai pengkhianat. Bahkan "oposisi" menjadi kata yang kotor. Mungkin terjadinya hal seperti itu akan sukar dibayangkan oleh Soekarno sendiri, meskipun ia senang memandang dirinya sebagai "penyambung lidah rakyat" berada "di atas" konflik-konflik kepentingan yang sempit.

***

ADALAH penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.

Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang memberikan mereka kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah pada tahun 1950-an.

Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Di antaranya adalah Ibnu Sutowo yang kemudian mengembangkan Pertamina.

Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk mempunyai peranan yang langsung di dalam sistem politik. "Demokrasi Terpimpin"-nya Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan "fungsional" atau "karya" yang boleh duduk dalam parlemen adalah tentara.

Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pula bahwa Jenderal Nasution telah mengajukan apa yang disebut sebagai "jalan tengah" untuk militer Indonesia. Dalam konsepsi ini, militer Indonesia tidak akan bersifat intervensionis-dan terlibat dalam kudeta demi kudeta-sebagaimana di Amerika Latin, namun juga tidak akan tinggal diam sebagai penonton arena politik, sebagaimana di negeri-negeri Barat. Walaupun sering dikatakan bahwa maksud awal Nasution telah dipelesetkan oleh Soeharto, dalam ide ini kita melihat cikal-bakal dari "dwifungsi" ABRI yang dipraktikkan Orde Baru.

Jadi, bila Soekarno telah memberikan dasar dari konsepsi sistem politik yang akan dikembangkan dalam versi yang lebih birokratis, otoriter dan ekslusioner pada masa Orde Baru, Nasution telah memberikan landasan awal bagi peranan militer di dalamnya. Nasution pulalah yang pertama mengusulkan bahwa hak pilih tentara dan polisi dicabut dan diganti oleh hak otomatis memperoleh perwakilan di badan legislatif. Oleh karena itu, Orde Baru dapat dipandang sampai tingkat tertentu sebagai hasil yang tidak disengaja (unintended consequence) dari manuver-manuver politik Soekarno dan Nasution di tahun 1950-an. Bisa dikatakan bahwa Soeharto tidak mungkin "ada" secara politik tanpa manuver kedua pendahulunya itu, masing-masing sebagai pimpinan negara dan tentara.

Tentunya, Soekarno dan Nasution pada waktu itu berada dalam situasi yang ditandai oleh keharusan untuk bernegosiasi dan bekerja sama, tetapi juga tidak jarang oleh konflik. Khususnya, militer amat tidak senang dengan upaya Soekarno untuk mengikutsertakan PKI dalam pemerintahan, sedangkan Soekarno semakin mengandalkan PKI sebagai satu-satunya kekuatan politik di awal tahun 1960-an yang dapat mengimbangi Angkatan Darat.

Dalam pikiran Soekarno, PKI adalah bagian tak terpisahkan dari "front" nasional menentang imperialisme dan untuk memajukan revolusi nasional. Ternyata-walaupun cukup "sukses" dalam pemilu nasional dan lokal sebelumnya-PKI mampu beradaptasi dengan lingkungan politik baru setelah berakhirnya masa demokrasi parlementer, seperti juga PNI dan NU (dua elemen lain dari Nasakom-nya Soekarno).

Konflik militer-PKI sendiri setidaknya sudah berawal pada peristiwa Madiun, dan diperburuk sejak tentara semakin aktif mengembangkan ormas untuk melawan dominasi PKI terutama di bidang organisasi buruh dan tani. Apalagi tentara sejak 1957 berhadapan langung dengan SOBSI-serikat buruh yang dekat dengan PKI-di perusahaan nasional yang dikelola militer. Sebagaimana diketahui, konflik militer dan PKI itu akhirnya berkulminasi dengan peristiwa 1965 yang hingga kini masih misterius, dan naiknya Jenderal Soeharto ke pucuk pimpinan negara.

Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir "bayi" yang kemudian menjadi entitas politik bernama Golkar. Setelah Soekarno memperjuangkan konsep perwakilan politik berdasarkan "fungsi" dalam masyarakat, ideolog militer macam Jenderal Soehardiman juga mengembangkan konsep "karyawan" di bidang perburuhan dengan mendirikan SOKSI (terutama berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai militer). Akhirnya, Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara untuk menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik yang berseberangan dengan kekuatan komunis.

Pada dasarnya, militerlah yang kemudian menjadi ahli waris langsung dari konsep golongan karya yang awalnya diperjuangkan oleh Soekarno, walau dalam versi tentara, konsep ini bermutasi menjadi lebih anti-partai, dan bercorak anti-komunis. Dalam perjalanan sejarah, Golkar dikembangkan di masa Soeharto sebagai salah satu pilar utama Orde Baru, yakni sebagai wadah untuk melegitimasikan kekuasaan lewat sejumlah pemilu yang jauh dari prinsip bebas dan bersih.

***

ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula perdebatan di antara para pendukungnya sendiri (ketika itu, termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang peranan partai politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun menulis di koran Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik dibersihkan dari partai politik yang identik dengan Orde Lama, yang katanya menghambat pembangunan. Tentu dia tidak sendiri, karena pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak intelektual lain-termasuk yang kemudian menjadi lawan Soeharto yang gigih dan tokoh gerakan demokrasi-serta sejumlah jenderal.

Perdebatan di antara para pendiri atau pendukung Orde Baru berkisar sejauh dan secepat manakah partai politik perlu di-'kubur'. Dalam hal-hal macam ini pulalah kita bisa melihat satu lagi "utang" Orde Baru-nya Soeharto pada "Orde Lama"-nya Soekarno. Seperti diketahui, setelah proses perdebatan dan intrik yang panjang, akhirnya semua partai "sisa" Orde Lama memang difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia di tahun 1973, disertai oleh Golkar, partainya golongan karya.

Salah satu tokoh yang paling penting dalam proses perekayasaan sistem politik Orde Baru adalah Jenderal Ali Moertopo. Peranannya menonjol baik sebagai ideolog maupun sebagai operator politik utama Soeharto di awal Orde Baru (dengan Aspri dan Opsus-nya). Jenderal Moertopo menerbitkan beberapa karya yang amat gamblang menggambarkan dasar-dasar pemikiran, blueprint, politik Orde Baru. Moertopo bukan seorang Soekarnois, tapi saya kira ada beberapa aspek dari pemikirannya-yang meskipun mungkin "dipinjam" dari tempat lain- "bertemu" secara tidak langsung dengan ide-ide yang sempat diperjuangkan oleh Soekarno di tahun 1950-an.

Salah satu "pertemuan" itu adalah dalam penempatan "negara" sebagai suatu entitas yang diidealisasikan berada di atas konflik dan perbedaan dalam masyarakat. Dalam pidato kenegaraan di tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa negara atau bangsa adalah suatu organisme yang tidak bisa dipilah-pilah, sedangkan strategi politik Moertopo dicurahkan terutama untuk menjamin bahwa tidak ada kekuatan dalam masyarakat yang mampu untuk menentang kemauan negara sebagai pengejewantahan dari kepentingan bersama.

Menurut David Bourchier (seorang pengamat politik Indonesia berasal dari Australia), pemikiran Moertopo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gereja Katolik Eropa awal abad ke-20, yang juga mengajukan konsep adanya pertalian yang erat, hubungan organik, antara negara dan masyarakat. Pemikiran ini aslinya dikembangkan di Eropa sebagai respons terhadap bahaya "fragmentasi" masyarakat yang disebabkan oleh kemunculan politik perjuangan kelas yang dimotori oleh kaum sosialis. Menurut Bourchier, Moertopo mungkin memperoleh gagasan ini dari intelektual Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang sempat menjadi dapur pemikirannya.

Seperti dikemukakan sebelumnya, Soekarno pun mengkhawatirkan proses fragmentasi di Indonesia, walaupun lebih menurut aliran politik atau sentimen kedaerahan. Di masa Orde Baru, ketakutan akan fragmentasi-atas dasar kelas, agama, atau hal lain-digabungkan dengan praktik-praktik politik represif yang membungkam bukan hanya partai, tetapi semua suara oposisi dengan dalih ancaman terhadap persatuan nasional dan sebagainya. Bahkan, protes daerah-daerah tertentu mengenai berbagai kebijakan pemerintah pusat dijawab dengan pengiriman tentara demi menjamin lestarinya persatuan nasional.

Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara "visi" Orde Baru dan visi "Demokrasi Terpimpinnya Soekarno". Setidak-tidaknya retorika Orde Baru di masa awal dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi yang dipinjam dari kepustakaan ilmu sosial Barat, seperti karya Samuel Huntington yang tersohor, Political Order in Changing Societies. Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun di Indonesia adalah yang diklaim bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat.

***

TULISAN ini telah memusatkan perhatian pada beberapa kontinuitas-mungkin terasa agak ironis-antara Orla dan Orba, meskipun ada banyak perbedaan di tingkat permukaan. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan betapa relevannya pemikiran dan tindakan Soekarno pada masa yang jauh melampaui kurun waktu kehidupannya sendiri-walaupun dalam bentuk unintended consequence-yakni berdiri, berkembang, dan bercokolnya Orde Baru.

Pada dasarnya, kontinuitas adalah tema yang masih amat relevan dibicarakan di Indonesia, bahkan dewasa ini karena masih eratnya kaitan antara aktor-aktor politik di masa reformasi ini dengan berbagai kepentingan yang menonjol di masa Orde Baru. Bedanya, kepentingan-kepentingan ini bukan lagi dilindungi oleh negara yang otoriter tetapi justru oleh partai-partai yang tumbuh relatif bebas dalam alam demokratisasi.

Seperti di tahun 1950-an dan 1960-an, perilaku partai politik yang dianggap mementingkan diri sendiri juga telah menyebabkan banyak orang menjadi sinis terhadapnya. Apakah sejarah akan berulang dan partai politik kembali dicap sebagai biang keladi fragmentasi bangsa, sebagaimana pernah dituduhkan Soekarno?

Mudah-mudahan saja solusi politik yang akhirnya ditemukan oleh bangsa Indonesia akan sangat berbeda dari solusi yang pernah muncul sebelumnya. Mudah-mudahan sejarah tidak berulang dengan naiknya tentara sebagai panglima politik, dan bercokolnya rezim yang otoriter untuk waktu yang lama.

Dr Vedi R Hadiz, Staf pengajar pada Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura.


Sumber: Kompas, 1 Juni 2001

                                                   Asal Usul Nama Indonesia



Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Makna Politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Dirgahayu Indonesiaku!***
 





Jumat, 17 Januari 2014

Buku dan Ibu

Kecintaan pada buku, ditumbuhkan tidak hanya oleh kebiasaan orangtua yang gemar membaca, namun pula pada kesediaan mengajak anak-anak mereka untuk juga menyukai baca buku. Itu benar-benar terbukti. Sejak kecil, buku telah sangat akrab di kehidupan kami. Betapa tidak, di seluruh bagian rumah ada banyak rak berisi beragam buku, kumpulan artikel, guntingan-guntingan berita yang dikumpulkan kakek dan ayah, beberapa koleksi bacaan milik ibu, dan beberapa buku-buku besar kiriman kerabat.
Loteng menjadi tempat eksplorasi pertama saya atas buku-buku milik mereka. Meski tak paham artinya, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sana bersama mereka untuk sekadar membaca. Namun, jauh lebih mengasyikkan, jika ibu saya mulai menarik sebuah buku dari rak, duduk bersama, dan membacakannya bagi saya. Dengan suara yang berirama, intonasi yang berubah seturut alur cerita, membuat saya sangat antusias menyimak hingga akhir, dan tak pernah bosan dengan semua buku yang kami baca bersama. Pengalaman itu terpatri dan menjadi kebiasaan yang, hingga kini, saya teruskan pula pada anak.
Buku adalah jendela ilmu. Bukan hanya atas isi buku yang kita baca, pembelajaran pada budaya, pada nilai-nilai, pada pendewasaan mental dan rohani, pada keterbukaan wawasan, pada kematangan berpikir dan mengolah rasa, pada penyerapan tata bahasa yang menuntun kita bertutur sopan, pada penambahan keahlian dan ketrampilan, pada perubahan, pada kreativitas, atas peningkatan fokus hidup, pada ketenangan bathin dan keseimbangan jiwa, dan pada kecerdasan emosi. Membaca, mengantar kita pada pencapaian. Itu sebabnya, saya sangat meyakini, peran perempuan terbesar adalah ketika mereka menjadi ibu, dan yang bersedia membacakan buku kepada anak-anak mereka, sekalipun mereka telah sangat lelah bekerja seharian.
Tanpa Diminta
Saya termasuk salah satu yang beruntung punya ibu yang suka membaca. Tetapi, pujian saya juga tertuju kepada berjuta-juta ibu, yang meski dalam keadaan terbatas, masih memberikan peran yang besar, dengan menyisihkan waktu bercerita dan mendongeng kepada anak-anak mereka. Tanpa diminta, para ibu itu membangun hubungan emosi dengan anak-anak mereka, menciptakan rasa aman, memberikan teladan, menyisipkan nilai-nilai kehidupan, mengarahkan tujuan, meneneramkan kegundahan, dan memberikan dorongan untuk melakukan lebih baik. Para ibu memberikan prinsip pembelajaran pada anak-anak yang kemudian tumbuh menjadi pemimpin, pencetus ide, pembuat kebijakan, pemrakarsa perubahan, penjaga perdamaian dan penulis buku. Para ibu, tanpa diminta, adalah kontibutor terbesar bagi peradaban dunia.
Sebuah penelitian psikologi perilaku menunjukkan, anak-anak yang tumbuh dengan ibu yang meluangkan waktu mendongeng dan membacakan cerita, cenderung tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas, berjiwa pemimpin, kreatif, percaya diri dan berwawasan luas. Kemampuan linguistik mereka tumbuh jauh lebih pesat, dan biasanya sangat mandiri. Mereka juga memiliki kemampuan mengatur, mengelola dan membuat perencanaan jauh lebih baik dari anak-anak yang tidak dibiasakan membaca. Anak-anak yang dibiarkan menonton tv atau bermain video games lebih banyak, cenderung menjadi lebih individual, berperilaku kasar, dan sulit berkomunikasi dengan tatanan bahasa yang baik.
Para ibu, diberikan karunia mengasuh anak-anak dengan kasih sayang yang tak menyerah. Jika Anda seorang ibu, tak perlu khawatir jika Anda tak berbakat bercerita. Anda tak perlu menjadi seorang sarjana yang cakap untuk dapat mendongeng untuk anak-anak Anda. Sebagai ibu, Anda telah diberi kemampuan mendongeng dan bercerita. Yang Anda perlukan hanyalah meluangkan waktu untuk melakukannya. Kemudian, Anda dapat mulai membeli buku, dan membacanya bersama anak-anak. Petualangan baru itu, tidak hanya mengakrabkan hubungan, tetapi juga awal langkah Anda menyiapkan anak-anak mandiri dan menjadi pemimpin. Setidaknya, menjadi pemimpin atas diri mereka sendiri, dan atas cita-cita yang hendak dicapai kelak.
Jika Anda seorang ibu bagi anak-anak yang telah beranjak dewasa, jangan khawatir, Anda belum terlambat. Anda selalu dapat mulai dengan memilih sebuah buku dan menjadikannya topik bahasan keluarga bersama mereka. Dan jika anak-anak Anda telah menikah, Anda tak pernah terlambat untuk memulai kebiasaan membacakan buku kepada cucu-cucu Anda, bukan?
Tanpa diminta, para ibu menyiapkan yang terbaik untuk keberhasilan anak-anaknya. Tanpa diminta, para ibu bersedia dan bersiaga sehari penuh, setiap waktu, dan sepanjang hidup. Tanpa diminta, para ibu membacakan buku bagi anak-anaknya dan berada di tengah-tengah mereka mendampingi saat mereka bertumbuh dan mencapai sesuatu.
Prinsip Pembelajaran
Jika para ayah adalah pemimpin spiritual dan strategis di dalam rumahtangga, maka peran para ibu adalah pemimpin praktikuler setiap hari. Kerjasama sinergis ini akan menumbuh-kembangkan prinsip-prinsip pembelajaran yang dibutuhkan anak-anak dalam bertumbuh dengan kecerdasan yang maksimal. Anak-anak perlu belajar tentang Ketaqwaan-Kebahagiaan-Kasih Sayang-Tanggungjawab-Kejujuran-Kegigihan-Kedisplinan-Keberanian-Kesabaran-Kerjasama-Sopan Santun-Menggali Ilmu, dan mereka memelajarinya bukan saja dari teladan yang diberikan oleh orangtua mereka, tetapi juga dari berbagai hal yang ditunjukkan kepada mereka. Buku adalah sumber terbaik untuk ini, tetapi perlu seorang ibu yang bersedia membimbing pencarian itu setiap hari.
Ibu yang membacakan buku, membuka wawasan anak-anak atas dunia di balik tinta. Mereka belajar menjelajah dengan imajinasi, memahami ilmu, mengurai cerita, menghayati emosi dari lekukan irama suara ibu mereka, mengamati jiwa dari mimik muka dan binar mata sang pencerita, merasakan tenteram hati di tiap tarikan nafas sela kata, dan menggagas karya dari kreativitas mereka, karena ibu yang tak jenuh memberi waktu.
Ibu, bacakanlah sebuah buku!

* Tulisan ini dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) edisi cetak No. 04/Tahun IV/Februari 2008